Air Mata Sang Legenda

Bicara kepastian hati, Adz-Dzahabi (1350 M) menulis pada ringkasan kitab Al-Siyar, “Maa kharaja minal qalbi fa dakhala ilal qalbi.” Artinya, “Sesuatu yang keluar dari hati akan masuk ke dalam hati.” Raden Haji Oma Irama yang akrab dipanggil Rhoma Irama sering mengucapkannya. Kemudian kata-kata ini sampai ke telinga Iwan Fals.

Rhoma Irama (73 tahun) sukses di dunia musik dan film. Bintang film kanak-kanak “Djendral Kantjil” dilakoninya pada tahun 1958. Sejak usia 11 tahun sudah memilih menjadi penyanyi. Tumbuh menembus badai rintangan. Ketika musik dangdut dianggap terbelakang pada tahun 70-an. Rhoma Irama melawan dengan revolusi musik dangdut. Gitar sebagai instrumen andalannya tampil gagah dengan irama dan gaya musiknya. Kemunculan film “Satria Bergitar” yang belum selesai diproses tetapi orang sudah membelinya. Rhoma Irama menjadi rujukan penelitian skripsi dan tesis tentang musiknya. Bahkan peneliti asing William H. Frederick doktor sosiologi Universitas Ohio Amerika Serikat melakukannya.

Kenyataan harus dikabarkan. Penulis saat berada di Mekkah tahun 2008 mengalami peristiwa berkesan tentang Rhoma Irama dan Iwan Fals. Rhoma Irama, legenda musik Indonesia. Saat itu keluar dari Masjidil Haram menuju penginapan. Berjarak 7 km di malam hari dan sendiri. Biasanya jalan kaki bersama rombongan haji Indonesia lainnya. Karena sendiri maka memilih naik taksi. Sopir taksi adalah warga negara Arab Saudi, tidak bisa bahasa Indonesia. Sopir taksi melihat penulis ada merah putihnya, spontan dia berucap, “Indonesia, Haj, Rhoma Irama.”

Lalu diputarnya lagu. Kaset yang terselip di tape mobil itu penulis sangka adalah lagu Arab Saudi. Sambil menemani perjalanan menuju maktab terdengar tidak asing di telinga. Suara khas Rhoma Irama dengan lagunya “Begadang” menemani malam di Mekkah.

“Nyanyian Jiwa” menjadi nyanyian yang menguatkan penulis selama perjalanan spiritual di tanah suci. Melangkah di tengah-tengah gemuruh doa-doa lautan manusia. Iwan Fals tertanam di hati telah memberi ghirah. Penulis mendapat tugas menjaga jamaah haji. Jamaah isinya nenek-nenek. Nenek-nenek tangguh. Nenek-nenek yang tak ada letihnya berjalan tawaf dan sa’i setiap lima waktu. Nenek-nenek yang tegar melangkah dari bukit Mina menuju tempat melempar jumrah. Bendera merah putih mempersatukan dan memperkokoh barisan pejalan kaki. Doa-doa itu adalah “Nyanyian Jiwa”.

Iwan Fals sepanggung Rhoma Irama terwujud di awal tahun 2020. Sejarah ini diwujudkan pada Pesta Perak HUT 25 Tahun Indosiar. Bertempat di JCC ditayangkan live oleh Indosiar. Maka untuk tampil maksimal, baik itu Iwan Fals maupun Rhoma Irama berusaha keras latihan bersama Orkestrasi Oni N Friends . Menghapal dan mendalami lagu karya Iwan Fals bagi Rhoma Irama adalah tantangan tersendiri. Begitupun sebaliknya. Tampil tanpa kehilangan gaya masing-masing dinantikan jutaan pasang mata.

Iwan Fals, seperti biasanya mesti berulang-ulang latihan. Iwan Fals memperlakukan lagu sama dengan filosofi karate. Diawali dengan penghormatan diakhiri dengan penghormatan. Penghormatan kepada penciptanya, Rhoma Irama. Penghormatan kepada karyanya yaitu latihan sungguh-sungguh. Seperti air yang mendidih jika tidak dipanaskan secara teratur ia akan menjadi dingin. Tentu Iwan Fals butuh berlatih serius ketika mendalami “Mirasantika”, “Judi”, “Santai”. Akan berbeda tantagannya dibanding membawakan lagu ciptaan sendiri. “Buku ini Aku Pinjam”, “Bongkar”, “Manusia Setengah Dewa”, “Serdadu” sering dilatih dan dibawakan di panggung. Latihan serius karena ujiannya adalah pertunjukan yang sempurna.

Air mata adalah klimaks dari ungkapan rasa. Bagaimana mungkin perasaan mengingkari kenyataan. Ini dorongan hati. Siapa yang bisa membendung air mata saat mimpi menjadi kenyataan. Dua nama besar dalam satu panggung. Legenda itu adalah Iwan Fals. Legenda itu adalah Rhoma Irama. Masing-masing memiliki nama besar. Masing-masing saling mengagumi.

Bagi Rhoma Irama menjadi sangat emosional. Ketika sebelumnya menjemput Ridho Rhoma yang menjalani kewajiban hukum. Kemudian Rhoma Irama dijemput Iwan Fals usai turun dari mobil menuju ruang tunggu. Obrolan akrab sebelum latihan. Iwan Fals bicara kalau anaknya, Raya Rambu Rabbani mirip dengan anak Rhoma Irama, Ridho Rhoma. Kemudian latihan bareng dengan santai Iwan Fals merubah lirik lagu “Buku Ini Aku Pinjam”. “Memang usia tidak muda” yang seharusnya “Memang usia kita muda” sambil ditimpali oleh Rhoma Irama, “Memang memang.”

Bagi Iwan Fals menjadi sangat emosional. Ketika Rhoma Irama diam-diam tanpa sepengetahuan orangnya, mengagumi Iwan Fals sebagai seniman sejati. “Harim” Iwan Fals menurut Rhoma Irama adalah gitar akustik. Maka “Satria Bergitar” malam itu menyerahkan gitar akustik yang sudah dimilikinya sepuluh tahun kepada Iwan Fals. Apa reaksi Iwan Fals?

“Jujur saja saya berani bermusik dan percaya diri di dunia yang ajaib ini setelah mendengar kata-kata dari Bang Haji Rhoma, bahwa sesuatu yang dari hati akan sampai ke hati,” Iwan Fals menanggapi.

“Siapa tahu Jumat Bang Haji bisa menjadi imam masjid saya,” ucap Iwan Fals.

“Insya Allah saya jadi imam, khotib di masjid dekat anda, dengan catatan kita shalat Jumat sama-sama,” Rhoma Irama menanggapi.

Menangis ampuh menenangkan hati. Dia jujur mengalir. Air mata yang keluar itu obat penenang. Air mata menyebabkan tubuh memproduksi zat bahagia atau zat endorfin. Zat endorfin akan menyeimbangkan pikiran dan emosi. Menangis akan membuat sesudahnya lebih tegar.

Inilah yang dinamakan Myo dalam karate. Masukan karate dalam keseharianmu maka kamu akan menemukan Myo (rahasia yang tersembunyi). Menjadi orang sukses dengan menyandang predikat nama besar butuh pertahanan. Dia menjalani ujian bukan kemudahan. Menembus gelombang yang sulit dimengerti. Gelombang tidak lain dari kumpulan air mata sejarah. Sejak manusia lahir, air mata menjadi tanda. Emosi secara biologis ditransfer menjadi air mata. “Menangislah jika itu dianggap penyelesaian,” kata Iwan Fals di lagu Nyanyian Jiwa. Klimaks, Rhoma Irama kemudian mengetahui Raya Rambu Rabbani yang disebut-sebut mirip Ridho Rhoma.


Leuwinanggung, (16/1/2020).

Fotografer : Evelyn Pritt
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto