Do’a Iwan Fals di MTQ

Kamis siang, Iwan Fals beserta rombongan tiba di Bandara Kualanamu Medan Sumatera Utara. Jalanan yang basah isyarat kota yang menjadi tuan rumah Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXVII disirami hujan. Ada khawatir tapi tidak lantas diartikan menolak rejeki hujan. Rencana manggung di lokasi akan sedikit merepotkan jika hujan maka perlu alternatif lain untuk antisipasi. Lokasi yang terbuka beratapkan langit beserta hujan menjadi sebuah kondisi yang mesti dipikirkan untuk dicarikan solusi.

Manusia bisa berencana, manusia bisa memutarbalikkan pikirannya untuk menjawab persoalan tetapi pada wilayah ketetapan adalah wilayah kuasa Illahi. Seperti ungkapan sahabat penulis, seorang aktivis sekaligus seorang filosofis di Bandung Doktor Andri Yana, “Ketika Allah menggunakan intervensi dan hak prerogative-Nya maka tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak.”

Usaha dan do’a adalah kesadaran untuk bertindak mewujudkan harapan yang kemudian kesadaran dipadukan dengan kesabaran menerima hasil. Pada wilayah individu adalah sangat personal dan akan lebih berarti jika menjadi kesadaran kolektif. Semakin banyak yang memiliki harapan dan semakin banyak yang berdo’a maka semakin mendekati kemungkinan untuk terpenuhi atau dikabul. Jika tak sekuat hujan yang menyatukan langit dan bumi jadilah selembut do’a yang menyatukan harapan dan takdir. Dan Jumat malam acara penutupan MTQ XXVII berlangsung di lapangan terbuka dengan cuaca bersahabat.

MTQ adalah mengukur hasil dari proses belajar dan latihan yang ditekuni. Belajar membaca dengan baik, belajar mengatur nafas, belajar siap mental. MTQ dikaitkan dengan wawasan kebangsaan maka akan menjadi pendidikan yang berharga untuk proses ke arah kesadaran individu dan selanjutnya kesadaran kolektif.

Iwan Fals & Band kolaborasi marawis dan musik choir colossal Hadroh Nurul Hikmah Divif I Kostrad. Sebelumnya belum pernah bertemu latihan. Pasukan khusus baret hijau ini memiliki ketrampilan bermusik selain ketrampilan khusus di bidang pertempuran. Maka saat tiba di Medan dilakukan latihan bersama. Latihan disaksikan Harry Kissowo yang terkenal sebagai Pasukan Pengibar Suara.

Iwan Fals dengan peci hitamnya. Ini bukan yang pertama kali Iwan Fals dengan peci hitamnya. Mengapa peci hitam? Karena dia milik siapa saja pantas dipakai dari rakyat sampai pejabat, dari anak pesantren sampai presiden. Tentang peci hitam ada peristiwa yang mempertegas bahwa semestinya bangga menjadi putera Indonesia. Penulis saat berangkat haji dibekali peci hitam oleh ibu dan bapak. Dan hebatnya di Mekah dan Madinah peci hitam menjadi idola orang Arab. Sepertinya menjadi cindera mata atau kenang-kenangan yang berarti. Saat peci hitam dipakai maka orang Arab langsung familiar dan menyapa dengan bahasa tubuh yang penuh keakraban. Bagi penulis, peci hitam sama artinya dengan merah putih.

Di Bawah Tiang Bendera, Ibu, Kantata Takwa, Sore Tugu Pancoran, Bangunlah Putera/Puteri Pertiwi, Hadapi Saja, Do’a, Kemesraan. Pilihan lagu dengan menyuguhkan totalitas di atas panggung sejatinya selain memberikan hiburan juga pendalaman. Pendalaman dalam bentuk visualisasi ditampilkan malam itu. Selalu bicara energi positif dan dipertegas dengan realitas ruang dan waktu bahwa dakwah menjadi pekerjaan seluruh manusia. Ahli agama sudah pasti.


Leuwinanggung, (16 Oktober 2018).

Fotografer : Ichan Maulana
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto