Fenomena Pulang Kampung, Sepak Bola, Politik

Demam Piala Dunia 2018 melanda hingga ke tanah air sejak pertandingan perdana Rusia menjamu Arab Saudi dan memaksa Arab Saudi merayakan hari raya di negaranya Presiden Vladimir Putin. Diikuti oleh 32 negara, pertandingan sepak bola antar negara ini melahirkan banyak kejutan sejak awal diantaranya Belanda dan Itali gagal meraih tiket babak penyisihan.

Tontonan ini menghibur dan menyita perhatian banyak orang termasuk Iwan Fals. “Wuiih hebat meski kalah timnya, supporter Jepang tetap bersihkan sampah stadion, salut dan ini tidak terjadi begitu saja tentunya, kebersihan sebagian dari iman, sudah menjadi gaya hidup, kira-kira begitu, bersih badan,” kata Iwan Fals.

Apalagi waktunya bersamaan dengan liburan hari raya dan liburan sekolah. Semarak pulang kampung dan sepak bola menjadi obrolan yang mengisi ruang percakapan selain obrolan pilkada 2018. Pada akhirnya berkaitan satu sama lain antara pulang kampung, sepak bola, politik.

Bisa dipastikan bahwa pulang kampung atau mudik adalah tradisi yang tak akan lekang ditelan waktu. Pulang kampung dalam hal ini mudik lebaran adalah aktifitas yang sudah menjadi tradisi di Indonesia. Putaran uang pada saat mudik lebaran cukup tinggi karena ada lonjakan aktifitas masyarakat di bidang ekonomi dan transportasi. Daya beli tinggi dan kebutuhan transportasi meningkat. Yang kaya tidak lupa ke yang miskin sehingga yang miskin turut merasakan bahagia di hari raya. “Hidup bersama harus dijaga” sejatinya rasa syukur yang dimanifestasikan kepada aktifitas pulang kampung dengan mendatangi keluarga. Artinya Indonesia sejak dahulu memiliki “grand design” membangun negara diawali dari keluarga.

Pulang kampung dalam perspektif Piala Dunia adalah gagal ke babak selanjutnya. Istilah ini menjadi popular sehubungan dengan pertandingan yang dramatis. Siapa yang bakal mengira Jerman, Argentina, Potugal, Spanyol yang sebelumnya diunggulkan malah kandas. Kini sepak bola dunia bukan hegemoni nama besar tapi menjadi merata kekuatannya. Fenomena Jepang dari Asia yang sempat mengejutkan Belgia di pertandingan 16 besar adalah drama sepak bola yang akan selalu diingat. Bagaimana tidak, Jepang sempat memimpin 2-0. Belgia dengan tenang dan yakin akhirnya bisa mengejar ketinggalan dan pada detik akhir kemenangan diraih Belgia menjadi 3-2. Fakta ini sesungguhnya merangsang untuk bertanya, “Mereka bisa, kapan giliran Indonesia?”

Lantas apa kaitannya antara pulang kampung, sepak bola, politik? Saat pulang kampung obrolannya sepak bola dan sepak bola mengantarkan yang kalah pulang kampung. Lantas ada apa dengan politik? Dalam sepak bola ada ilmu, ada seni bermain, ada strategi. Gejolak tercipta dan memanas saat pertandingan berlangsung. Usai bertanding saling berjabat tangan dan saling merangkul. Sportivitas yang utama, kalah menang sudah biasa dalam olah raga. Tidak lantas kemudian pertandingan berlanjut di luar lapangan. Kemasan olah raga yang menjunjung sportivitas semestinya dihayati oleh elit politik. Bisa jadi elit politik dewasa dalam bersikap karena mereka anggap politik itu kedewasaan tetapi ada juga yang gemar memelihara konflik. Perseteruan yang tak kenal batas dan waktu melahirkan generasi tidak sportif, generasi yang maunya menang sendiri, generasi yang tidak siap menang tidak siap kalah. Yakinlah tentang etika politik dan pejuang nilai-nilai kebaikan yang bakal mengisi peradaban.

Pada peristiwa-peristiwa politik praktis barangkali bisa dianalogikan dua orang bintang sepak bola berhadapan di atas rumput hijau. Mereka sama-sama bekerja keras. Mereka sama-sama cerdik membaca situasi. Dan mereka sama-sama punya supporter fanatik. Tetapi mereka tak pernah saling meneriaki “kami tidak mengakui kemenangan kalian” karena mereka sama-sama sadar soal strategi dan menang-kalah. Dua orang bintang sepak bola ini menikmati pekerjaan di atas rumput hijau dan tidak selamanya berseteru, ada saatnya bersihkan diri dan mengambil jalan lurus.

Saat proses dilewati lewat jalur yang benar dan sportif maka ini menjadi pondasi untuk langkah-langkah selanjutnya. Berguru kepada mereka yang berlaga di Piala Dunia. Sudah pasti nilai-nilai kebaikan itu ditanam pada masing-masing pihak. Hari raya betul-betul menjadi hari kemenangan. Pulang kampung, sepak bola, politik menjadi energi positif yang terintegrasi untuk agenda-agenda selanjutnya. Lantas siapa yang bakal meraih kemenangan?

Leuwinanggung, (6/7/2018).

Fotografer : Ichan Maulana
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto