Drama 29 Hari Lintas Sumatera

Pesawat bisa lebih cepat dan dibutuhkan untuk mengejar waktu. Tetapi karena cepat maka akan ada sesuatu yang terlewatkan. Jalan darat menjadi pilihan karena akan banyak peristiwa untuk mata memandang, telinga mendengar, dan hati merasakan. Jalan darat diakui memang lama dan cukup melelahkan tetapi semua itu akan sirna dengan niat, pikiran, dan perasaan positif. “Temanku niat temanku semangat” melekat di hati 34 orang rombongan Tiga Rambu yang terlibat di perjalanan ini.

Manajemen Tiga Rambu dengan apik membuat segalanya detil dan terencana. Dengan memakai kata “manajemen” berarti fungsi manajemen diterapkan di sini. Diawali dengan perencanaan, pengorganisasian, tanggung jawab akan tugas, dan pengawasan menjadi panduan kerja. Yang pernah diajarkan di sekolah istilah POAC (planning, organizing, actuating, controlling) ada dalam lingkungan kerja di Manajemen Tiga Rambu. Belajar disiplin pada diri sendiri, kerja sama dan sama-sama kerja datang dari sekolah kehidupan dan lingkungan kerja Tiga Rambu menjadi tempat untuk menempuh nilai kehidupan yang baik. Lantas ini bakal ada hubungannya, jalan bersama dan sukses bersama. Pekerjaan ini beriringan antara edukasi dan rekreasi sehingga muncul istilah “bekerja bahagia dan bahagia bekerja”.

“Kunci keberhasilan adalah komitmen mengikuti rundown, sama-sama support untuk melaksanakannya walau ada perubahan tiba-tiba. Ini bentuk profesionalisme sehingga tidak sulit untuk menjaga kapan saat bekerja kapan saat liburan. Kerja sama berupa dukungan dan kepercayaan dari KTB sebagai penyelengara untuk Tiga Rambu menjadi tour ini berhasil,” kata Road Manager Iwan Fals Chrysilla Novianti.

Roadshow “Kontribusi Untuk Negeri Perjalanan Sejuta Harapan” bersama truk Mitsubishi Fuso hadir di 10 kota dan 11 titik menyisakan 4 kota di Pulau Sumatera. Setelah sebelumnya Bali, Semarang, Cirebon, Serang, Lampung, Surabaya maka selanjutnya jalan darat ke Palembang, Pekanbaru, Padang, dan Medan.

Jalan darat bisa melihat banyak hal. Dari melihat banyak hal menghasilkan banyak cerita. Menikmati dan tidak dikejar-kejar waktu. Memilih untuk jalan darat adalah bentuk apresiasi kepada sopir truk. Sopir truk adalah pahlawan jalanan yang kontribusinya luar biasa. Tanpa banyak bicara, sopir truk menjadi pemersatu dari Sabang sampai Merauke. Transportasi penunjang distribusi untuk hajat hidup orang banyak. Desa dan hasil buminya dinikmati orang kota. Butuh orang-orang pilihan untuk menjadi sopir truk, jika tidak maka belum tentu orang kota bisa menikmati sayuran segar dari desa. Lambat di jalan taruhannya sayur busuk. Cepat sampai tujuan dengan selamat, itulah pilihan sopir truk. Iwan Fals jalan darat lebih dapat menghayati.

“Sopir truk berjasa menyampaikan lagu-lagu saya ke daerah. Jaman itu masih pita kaset dan lagu-lagu saya bisa sampai dari ibu kota ke daerah,” kata Iwan Fals.

Berangkat dari Leuwinanggung, Minggu pagi (14 Januari 2018). Rombongan (34 orang) berkumpul di titik yang sama di jalan raya depan tukang bubur ayam. Pimpinan rombongan Ayub Suparman mengawalinya dengan doa bersama. Musisi naik bis pariwisata, crew naik bis kita, mobil box berisi peralatan dan sound system, dan Iwan Fals naik mobil. Semuanya berjumlah 4 unit kendaraan melaju menuju Pelabuhan Merak-Bakauheni. Jalanan lancar dan siang itu langit di atas laut cerah. Kapal laut ini mengingatkan saya saat tahun 1999 pergi sendiri jalan darat Bandung-Bima. Yang membedakan saat itu kapal laut yang ditumpangi 3 kali karena menyeberang pulau 3 kali (Jawa-Bali, Bali-Lombok, Lombok-Sumbawa). Sedangkan perjalanan ke Sumatera sekali penyeberangan. Dari atas laut yang tenang semakin jauh memandang darat dan semakin jauh sampai pada kesunyian diri, “Subhaanallah Indonesia dikasih luas.”

Palembang

Lewat Lampung sebagai pintu masuk Sumatera. Lampung identik dengan lambang siger sebuah kecintaan terhadap budaya lokal menghiasi perkantoran dan pertokoan. Tengah malam rombongan istirahat di Tulang Bawang Lampung. Senin pagi rombongan melanjutkan perjalanan menuju Palembang. Perjalanan cukup panjang, tiba di Palembang pas waktu magrib. Iwan Fals yang sedang puasa mencari tempat untuk berbuka. Warung soto yang dicari letaknya tidak jauh dengan penginapan. Bang Edo, lelaki nyentrik asal Palembang ini gembira saat kedatangan Iwan Fals.

Arena konser di Palembang diisi oleh barisan rapih truk fuso. “Truck Mania Palembang” memiliki beberapa truk yang sudah dimodifikasi sedemikian ruapa. Seperti truk fuso biru yang mengangkut tangki air dikemas apik dan mengkilat. Pemandangan ini mendapat reaksi dari Iwan Fals, bunyi klakson menghasilkan komposisi musik dan bisa dicoba untuk selanjutnya menjadi komposisi musik yang lebih serius. 19 lagu meluncur dari atas panggung truk fuso. Iwan Fals menyelipkan lagu dangdut dan lagu daerah. Sekuntum Mawar Merah dan Dek Sangke.

Usai konser, Tiga Rambu melakukan pertandingan persahabatan futsal dengan BPK Oi Palembang. Antusias untuk futsal cukup tinggi karena di dalamnya ada olah raga dan silaturahmi. Menggunakan bis dari penginapan dengan berkostum lengkap membayangkannya seperti pemain profesional tandang. Arda, Ardy, Ican, dan yang lainnya rutin latihan futsal di Leuwinanggung dan sekali bermain tandang langsung di luar kota, yaitu Palembang.

Palembang kota terkenal penghasil ikan. Iwan Fals mengunjungi tambak ikan patin di Banyuasin. Jalanan menuju lokasi masih tanah dan bergelombang. Untuk menempuh lokasi tambak ikan patin cukup memakan waktu 1,5 jam dari Palembang.

Pekanbaru

Rombongan melanjutkan perjalanan ke kota selanjutnya yaitu Pekanbaru. Iwan Fals memilih naik bis pariwisata bergabung bersama musisi. Di dalam bis pariwisata latihan digelar. Seroja dan Sekuntum Mawar Merah menyertai perjalanan Palembang-Jambi. Sepanjang jalan Iwan Fals menyanyi. Ini rahasia Iwan Fals kuat dan bertahan menyanyi di atas panggung dua jam bahkan lebih.

“Penyanyi cara merawatnya nyanyi terus. Pelari cara merawatnya lari terus. Rutin latihan,” kata Iwan Fals.

Istirahat dan bermalam di Jambi. Esoknya melanjutkan perjalanan ke kota tujuan, Pekanbaru. Di kota ini konser pesta duren. Saat konser berlangsung, duren diangkut ke belakang panggung melewati kerumunan penonton. 18 lagu usai dinyanyikan termasuk di dalamnya ada Seroja, Goyang Asik Mitsubishi, Sekuntum Mawar Merah.

Pesta duren dimulai. Selepas turun panggung, Iwan Fals menikmati sajian duren. Tersiar kabar bahwa di kota selanjutnya pun bakal disediakan duren. Pekanbaru, Padang, Medan menjadi surga pagi penikmat duren yakni Crew Iwan Fals bernama Budi Sumanto.

Perjalanan dilanjutkan ke Padang. Jalur darat yang dilalui melewati daerah yang berkelok di Payakumbuh Sumatera Barat. Kelok Sembilan namanya. Iwan Fals menikmati pesona alam Kelok Sembilan. Sambil duduk ngopi bersama sopir truk panggung fuso, Didin. Lelaki asal Banjaran Bandung ini hebat. Dia yang mengendarai truk panggung sejak titik pertama di Bali sampai titik terakhir di Medan. Bayangkan Bali, Semarang, Cirebon, Serang, Lampung, Surabaya, Palembang, Pekanbaru, Padang, Medan, Didin sopirnya.

Padang

Perjalanan dilanjutkan melewati Bukittinggi dan sampai pada titik tujuan yaitu Padang. Bukittinggi meninggalkan banyak jejak sejarah, salah satunya Bung Hatta.

"Bung Hatta lagu yang menginspirasi saya dalam hidup bersama,” kata Iwan Fals.

Tampil malam hari sejam selepas Isya. Antusias penonton membuat Iwan Fals & Band semakin menjadi. Bung Hatta, Kampuang Nan Jauh Di Mato, Ayam Den Lapeh, Seroja, Dindin Badindin, Goyang Asik Mitsubishi, Sekuntum Mawar Merah menjadi penghibur malam yang akrab. Tanpa terasa malam semakin larut dan 24 lagu meluncur dari atas panggung truk fuso.

Iwan Fals mengunjungi RM Pagi Sore Padang yang berdiri sejak 1947. Menyapa pemiliknya yang kini menjadi generasi ketiga Ibu Hj. Rostina Benny.

“Nama Pagi Sore agar mudah diingat. Buka pagi jam delapan tutup malam jam sembilan. Ayam kampung di sini cara masaknya dengan kayu bakar,” kata Rostina.

Medan

Rombongan jalan darat berangkat menuju Medan. Rute yang ditempuh Lintas Sumatera menuju Padang Sidempuan. Istirahat semalam kemudian melanjutkan perjalanan ke Medan. Jumat pagi jalanan cukup lancar. Sempat mandi di sungai. Air yang nampak tenang ternyata memiliki arus yang cukup kuat. Bilal menikmati dengan bermain di arus berbatu. Begitupun Budi Sumanto yang mengaku bermain di air kali sejak kecil. Sementara Iwan Fals menikmati arus sambil berendam dan duduk di bebatuan.

Lamunanku mengajak ke Sungai Citarum dan membayangkan andai saja Sungai Citarum bersih seperti di sini. Namanya Sungai Parsariran, jernih. Kejernihannya diakui paling bersih di Tapanuli Selatan. Biasa dipakai mandi jelang bulan puasa oleh masyarakat Batang Toru dan sekitarnya.

Lanjut, perjalanan menuju Goa Belanda Sitahuis di Sibolga Tapanuli Tengah. Di sini awal ujian perjalanan Lintas Sumatera. Sebelumnya baik-baik saja tidak ada sesuatu yang menegangkan. Tapi di Goa Belanda ini rombongan tertahan. Bis pariwisata sulit menembus goa.

Sopir bis berulangkali mencoba masuk dengan mengambil posisi yang pas. Bis yang berukuran panjang ini terlalu sempit untuk bisa menembus goa. Kepala bis dan badan bis bisa masuk tapi sayang atapnya menggesek dinding goa. Atap bis yang sedikit menonjol karena penutup AC tidak bisa dipaksakan masuk membentur dinding goa. Bis kembali mundur dan menepi di pinggir jalan dekat mulut goa. Ban belakang sebelah kiri dicopot dan sebelahnya dibuat kempes. Bis kembali dicoba masuk goa. Upaya ini tidak membuahkan hasil karena tetap sempit.

Rombongan tertahan sudah hampir dua jam di mulut Goa Belanda. Perundingan dilakukan dan bis pariwisata dinyatakan untuk tidak melewati goa. Iwan Fals di mobil, Crew di Bis Kita, dan mobil box meneruskan perjalanan masuk lewat goa. Musisi dan manajemen di bis pariwisata putar haluan dan kembali ke jalan semula, Padang Sidempuan. Sore itu bis pariwisata turun mengikuti jalan yang dilalui tadi pagi dan mencari jalan menembus malam lewat Rantau Prapat Lintas Timur Sumatera.

“Nah ini jalan yang tadi pagi kita berangkat” ucap Ardy menyambut malam.

Ya, kami berpisah dan bis pariwisata menempuh jalur aman. Tidak mengambil jalur Sipirok karena bis malam lewat Sipirok kurang nyaman. Sepanjang jalan saya duduk di kursi belakang ditemani oleh Ardy dan Sonata. Perasaan bercampur aduk dan berharap sepanjang jalan baik-baik saja. Perjalanan menempuh gelap malam dan tiba di Medan di esok pagi.

Sonata mengisi waktu dengan obrolan soal kehidupan orang terkenal. Orang terkenal bisa menimpa siapapun. Musisi, penyanyi, pembawa acara, dan banyak orang hebat yang pada akhirnya terkenal. Popularitas terbentuk dan mengiringi seseorang saat dia terkenal. Sampai pada titik tertentu saya bertanya mengapa orang terkenal hidupnya terganggu, kemana melangkah diikuti, media massa selalu mengintai. Ada konsekuensi sebagai orang terkenal dalam menikmati kenyamanan hidup. Perlu disiapkan mental menjadi orang terkenal. Kecil-kecilan saya dan Sonata adalah orang terkenal yang belum diketahui banyak orang. Bayangkan bagaimana dengan sosok terkenal lainnya yang sudah diketahui banyak orang.

“Saat dia terkenal saat itu juga hilang kewajaran,” kata Sonata.

Tiba di Medan Iwan Fals dijadwalkan dua kali manggung. Untuk tampil tidak mengecewakan penonton Iwan Fals mempersiapkan diri dengan latihan serius. Latihan di kamar hotel memainkan lagu-lagu daerah seperti Sai Anju Ma Au, Sinanggar Tulo, Alusi Au, Situmorang, Butet.

Sementara untuk mengisi kekosongan waktu, Tim Tiga Rambu melakukan pertandingan persahabatan futsal. Di Medan sempat futsal dua kali. Pertama, pertandingan persahabatan “segi tiga” antara Tim Tiga Rambu-Tim EO-BPK Oi Medan. Kedua, pertandingan persahabatan dengan Tim Robert Medan.

Iwan Fals mengunjungi perkebunan kopi di Berastagi. Daerah pegunungan yang dingin dan tampak dekat dengan Gunung Sinabung menghasilkan kopi berkualitas. Hari itu Iwan Fals sedang puasa sehingga tidak sempat mencicipi kopi yang sudah disajikan. Sepulang dari perkebunan kopi Iwan Fals menyempatkan diri berkunjung (mendadak) ke Sekretariat BPK Oi Medan. Sekretariat sedang kosong karena hari kerja, Iwan Fals berkunjung kembali saat perjalanan dari Medan menuju Aceh.

Tersesat Ke Aceh

Aceh tidak ada dalam jadwal Roadshow Fuso & Iwan Fals. Roadshow 22 November 2017 – 3 Februari 2018 berakhir di Medan. Waktu yang tersisa masih cukup jika menempuh jalan darat ke Aceh. Iwan Fals yang punya naluri petualang menganggap kurang lengkap jika jalan darat Lintas Sumatera tidak menempuh Aceh. Maka dengan alasan itu disepakati jalan darat ke Aceh yang diikuti 13 orang. Sementara rombongan Musisi dan Crew memilih pulang ke Jakarta karena tidak ada jadwal manggung dan bis pariwisata yang digunakan mesti pulang ke garasi sesuai perjanjian sewa.

Berangkat 13 orang menggunakan Bis Kita dan mobil dari Medan siang hari melewati Berastagi dan Sidikalang menuju Tapak Tuan Aceh Selatan. Malam hari sudah masuk kawasan Aceh Selatan. Bis Kita dan mobil Iwan Fals masuk ke jalan bukan aspal. Semakin dalam kami masuk ke kampung. Petunjuk jalan di google map mengarahkan jalan terus dan kami menganggap ini jalur alternatif. Saat terjebak di sebuah jalan gelap, kami diikuti pengendara sepeda motor.

“Tidak ada jalan kesana putar kembali ke depan ikuti tiang listrik” kata bapak pengendara sepeda motor yang ternyata penduduk setempat.

Bis Kita dan mobil Iwan Fals putar arah dan mencoba ikuti petunjuk. Sampai tiba di pos penjagaan kebun sawit. Kami masuk ke arena kebun sawit. Gelap dan tidak menemukan tanda-tanda kendaraan lewat malam itu. Semakin dalam menempuh jalan di dalam kebun sawit. Sinyal HP hilang. Seperti film petualangan, tiba-tiba ban mobil Bis Kita selip di tanah yang basah. Posisi ban kiri belakang tidak bisa melaju. Seisi Bis Kita turun untuk mencari cara meneruskan perjalanan.

Langit gelap dan hujan mulai turun. Ya Allah, bukan kami menolak rejeki hujan tapi kami meminta untuk tidak hujan saat ini. Hujan reda dalam sekejap. Kami berunding dalam kondisi gelap di tengah luasnya kebun sawit Aceh Selatan.

“Yopi, kamu berani jalan kaki ke pos di depan cari bantuan?” ucap Iwan Fals.
“Berani tapi bantuan apa nanti yang dicari?” jawab Yopi.

Pak Ajum sopir Bis Kita berupaya memainkan kendali setir dan gas untuk bisa keluar dari jebakan lumpur. Budi Sumanto berusaha memadatkan lumpur dengan menyelipkan batu dan balok. Upaya dicoba. Bis Kita didorong ramai-ramai.

“Satu..dua..tiga..” tenaga dikeluarkan dan belum berhasil.
“Satu..dua..tiga..” upaya selanjutnya baru berhasil.

Bis Kita bisa melanjutkan perjalanan mengikuti mobil Iwan Fals. Kembali gelap dan jalan sempit hanya cukup bisa dilalui satu mobil. Semakin masuk ke jalan yang tidak mungkin bisa dilewati Bis Kita. Putar balik. Setelah putar balik kejadian selip terulang kembali.

Lagi-lagi kami mendorong Bis Kita. Tidak berhasil karena ban selip tidak bisa terangkat. Tenaga terkuras dan malam itu sudah lelah. Kami memutuskan tidur di tengah kebun sawit. Ibarat tidur di tengah hutan, tidak tahu arah kemana jalan keluar, tidak tahu makhluk apa saja yang ada di sekitarnya termasuk binatang liar apa saja yang ada kami tidak tahu. Sinyal HP mati.

Iwan Fals berjalan menuju tembok jembatan untuk rebahan. Sementara yang lain ada yang tidur di jok mobil. Atas saran Firman, Iwan Fals kembali menuju mobil dan istirahat di dalam mobil. Firman, Epel, Silla tidur di atap Bis Kita. Sisanya di dalam Bis Kita sambil menunggu terang di pagi hari.

Pagi Iwan Fals bangun dan mencari jalan keluar. Mobil yang ditumpanginya berhasil keluar arena kebun sawit. Baru mendapat sinyal setelah menemukan pemukiman penduduk dan saat drone foto udara diaktifkan jelas sudah rombongan tersesat di luasnya kebun sawit Singkil Aceh Selatan. Bantuan dicari oleh Budi Sumanto dan Pak Ajum. Butuh derek dan truk besar untuk menarik Bis Kita.

Sementara pagi itu datang pemuda turun dari motor. Pemuda itu bertanya kepada kami, dari mana dan mengapa bisa sampai dalam kebun sawit. Gunawan namanya. Lelaki asal Meulaboh Aceh Barat ini bekerja di perkebunan sawit dan biasa menolong mobil selip.

“Halo, isi pulsa saya mau habis,” ucap Gunawan dari hp miliknya.
“Nah koq bisa ada sinyal, padahal kami semua mati sinyal?” tanyaku keheranan.
“Ada ini bisa” sambil menunjukkan hp miliknya sebesar kartu tanda penduduk.

Tangan cekatan Gunawan dimainkan. Cara memasang dan mengukur dongkrak kelihatan piawai. Mesin dinyalakan dan Bis Kita didorong ke belakang. Sekali lagi Bis Kita didorong ke depan. Bis Kita melaju dan bisa jalan. Di persimpangan jalan Budi Sumanto dan Pak Ajum dari arah yang berlawanan nampak kaget dengan Bis Kita yang bisa maju. Dan siang itu kami bisa selamat dan keluar dari jalan sesat.

Melaju menuju titik tuju semula yaitu Tapak Tuan Aceh Selatan. Kawasan yang selamat dari tsunami Aceh dan memiliki pesona laut yang indah.Tiba di Tapak Tuan seolah menemukan titik terang. Iwan Fals menikmati mandi di laut.

Perjalanan selanjutnya ke Meulaboh Aceh Barat. Berangkat pagi dari Tapak Tuan menyusuri jalanan kanan kiri kebun sawit. Aceh jalan aspalnya bagus dan sesekali menemukan sapi di tengah jalan. Tiba di Aceh waktu Dzuhur, Iwan Fals menyempatkan diri shalat di Masjid Agung Meulaboh Aceh Barat. Siang itu Iwan Fals mengunjungi Sekretariat BPK Oi Meulaboh. Atas petunjuk Agam Oi Meulaboh, Iwan Fals menikmati kopi terbalik Meulaboh.

Dari Meulaboh berangkat menuju Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Masjid yang mempunyai payung terkembang seperti di Madinah ini dikunjungi Iwan Fals. Kami tiba malam hari dan shalat di sana.

Kembali Pulang

Drama perjalanan Lintas Sumatera ini menghasilkan catatan tentang perjalanan spiritual. Bukan sesuatu yang mudah untuk melakukan 29 hari perjalanan bersama lewat darat. Bahwa Fuso tangguh, iya. Bahwa sopir tangguh, iya. Fakta ini karena terbukti dan kami merasakan langsung. Alat transportasi akan berhubungan dengan penggunanya. Mereka pahlawan jalanan.

Jalan darat Lintas Sumatera merekam kehidupan sopir dan kami bisa menghayati langsung. Jalan darat dilakukan bersama menjadi ukuran untuk manajemen diri soal waktu (waktu makan, waktu shalat, waktu istirahat). Saat lelah di jalan maka air wudlu menjadi obat menyegarkan.

Yang memisahkan Sumatera, Jawa, Bali adalah perairan. Lintas Sumatera sudah bisa menjelaskan bahwa Indonesia luas dan kaya dengan potensi alamnya. Bagaimana dengan Sulawesi, Kalimantan, Papua. Sudah pasti Indonesia luas dan kaya dengan potensi alamnya dan jalan darat akan lebih menjawabnya.


Leuwinanggung, (20/2/2018).

Fotografer : Ichan Maulana
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto