Harta Yang Tak Ternilai

Kini hanya bayanganmu
Melintas di mataku
Hanyalah wajahmu
Tak kulupa seumur hidupku

Oo Sedih
Hatiku sedih
Karena takkan kembali


Jika kepergian menjadi kesedihan itulah bahasa kejujuran. Sambutlah kedatangan dengan bahagia belum tentu bisa berlaku saat kepergian terjadi. Kematian adalah kepergian abadi dan dia tak bakal hadir kembali. Yang menyelamatkan ketidakadaan adalah karya. Karya, hasil dari sebuah pergulatan pikiran dan rasa sehingga dia bakal menghidupkan pikiran dan rasa orang-orang. Karya bakal abadi karena dia menjadi kenangan. Seperti cerita Iwan Fals yang menyapa ribuan penonton “Musicfest” di Eldorado Sport Center, Bandung (29/10). Pagelaran persembahan XL Yonder Music dibuka Iwan Fals dengan lagu mengenang Almarhum Benny Panjaitan. “Ceritanya saya masih SD. Saya disuruh nyanyi ke depan kelas sama guru. Harta yang tak ternilai,” kata Iwan Fals.

Harta yang tak ternilai adalah modal besar yang ada pada diri. Dia bukan berbentuk harta benda karena harta benda ada nilainya dan suatu saat bakal habis. Dia adalah diri sendiri. Dia adalah yang Allah berikan. Walau modal dengkul dan ternyata bisnis itu hanya modal dengkul bahkan jika anda tidak punya dengkul, pinjam dengkul orang lain. Bob Sadino adalah orang yang membantah keluhan tentang keterbatasan modal yang dimiliki. Baginya setiap orang dengan modal dengkul artinya sudah punya di atas 1 Milyar. "Mau gak kira-kira kalo dengkulnya dibeli 500 juta? tidak mau kan, berarti anda punya modal 1 milyar dengan 2 dengkul anda,” kata Bob Sadino.

Bakat tarik suara sejak SD dan pilihan hidup di musik maka menjemput takdir adalah perjuangan hidup semua orang. Iwan Fals hari ini bukanlah sebuah hasil tanpa proses panjang. Bernyanyi sejak tahun 1975 dan Bandung menjadi saksi. Iwan Fals kala itu anak SMP tetapi sudah bernyanyi di hadapan mahasiswa ITB.

Sebagai penyanyi dibutuhkan totalitas dan untuk menjaga agar tetap stabil di atas panggung Iwan Fals memilih berolahraga beladiri karate. Dua hari sebelum ke Bandung, Iwan Fals yang kini Dan V Sabuk Hitam menyempatkan diri bertemu dengan Seiji Nishimura, pelatih nasional Federasi Karatedo Jepang (JKF). Seiji Nishimura adalah atlet juara dunia dari Jepang era 80-an yang sedang berkunjung ke Indonesia. Sayangnya saat diajak latihan karate bersama, Iwan Fals sudah punya jadwal manggung bareng Kotak. Dan Iwan Fals hadir kembali di Bandung. “Jalani hidup tenang tenanglah seperti karang…Tak pernah malas persoalan yang datang hantam kita…” teriakan Iwan Fals seperti gelombang menghantam dinding batin.

Iwan Fals & Band tampil 16 lagu. Diawali membawakan lagu Almarhum Benny Panjaitan. Bangunlah Putra Putri Pertiwi, Lagu Satu, Mata Indah Bola Pingpong, Ia Atau Tidak, Aku Sayang Kamu, Asik Gak Asik, Teman Kawanku Punya Teman. Dinginnya udara malam Bandung berubah menjadi menghangat tatkala Kotak naik panggung. Gelisah, Terbang, Energi, Awang-awang, Beraksi, Balada Orang Pedalaman dibawakan bersama Kotak (Tantri, Cella, Chua).

Hio dibawakan menggunakan aplikasi smartphone. Iwan Fals, Edi Daromi, Ardy, Yose, Sonata memainkan alat musik dari smartphone. Ada pesan yang terkandung di dalamnya. Teknologi untuk hal yang positif dan bisa membantu pekerjaan. Perubahan jaman ditandai dengan perkembangan teknologi dan merespon jaman dengan cerdas berteknologi.

Pohon Untuk Kehidupan, menjadi pesan penutup. Penonton Bandung tetap bertahan walau Iwan Fals sudah melepas gitar dan memberikan penghormatan kepada penonton sebagai tanda terima kasih. Ketika ketemu dalam satu atmosfer atau berada pada frekuensi yang sama maka sulit rasanya untuk pergi. Jika kepergian menjadi kesedihan itulah bahasa kejujuran. Setelah itu ambil pilihan untuk melangkah, datang bahagia pergi lebih bahagia. “Hatur nuhun Bandung,” ucap Iwan Fals.


Leuwinanggung, (1/11).

Fotografer : Ichan Maulana
Penulis : Syaiful Ramadlan
Editor : Rosana Listanto